Sabtu, 21 Januari 2012

Perkawinan Menurut Agama Hindu Dalam Weda


Perkawinan Menurut Agama Hindu Dalam Weda
http://www.tanahlottabananbali.com

a.      Pengertian Perkawinan (Wiwaha)
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah menyangkut hokum nasional dan hokum Agama.
Dalam undang – undang No. 1 tahun 1974, pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan pria sebagai suami istri dengan tijuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan  Yang Maha Esa.
Dalam agama Hindu, setiap perkawinan dipandang sebagai suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya sewaktu mereka telah meninggal. Karena itu kawin dan mempunyai anak adalah merupakan suatu perintah agama yang dimuliakan. Perkawinan itu dipandang sebagai suatu Dharma (kewajiban) yang bertujuan untuk memperoleh anak sebagai jalan untuk menebus utang (Rna).

b.      Perkawinan Menurut Hukum Hindu
Sah atau tidaknya perkawinan menurut hokum hindu itu adalah apabila sesuai atau tidak dengan persyaratan yang ada. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hokum hindu ialah :
1.Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian seperti  Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2.Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu
3.Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian apacara wiwaha.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan
5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan wanita berumur minimal 18 tahun.
7. calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, Atau sapinda.
8. Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
Ø  Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
Ø  Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
Ø  Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
Ø  Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai mahluk bawahan
Ø  Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
Ø  Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang lain.

Perkawinan dilarang atau dicegah apabila
ü  Calon mempelai berhubungn darah dala garis keturunan lurus keatas dan kebawah
ü  Berhubungan darah daalam garis keturunan memanjang yaiyu antara saudara dengan saudara orang tua
ü  Berhubungan semenda, yaitu Mertua. Anak tiri, Menantu, daan Ibu/bapak tiri
ü  Berhubungaan saudara dengan istri atau sebagai Bibi atau kemenakan dari Istri dalam hal seorang Suami beristri lebih dari seorang.
c.       Bentuk - Bentuk Perkawinan dalam Weda
Dari delapan bentuk system perkawinan dapat dijelaskan lebih lanjut :
  1. Brahma Wiwaha adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria ahli weda dan berprilaku baik dan setelah menghormati yan diundang sendiri oleh ayah si wanita.
(Manawa Dharma Sastra, III. 27)
  1. Daiwa Wiwaha adalah pemberian anak wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa.
(Manawa Dharma Sastra, III.28)
  1. Arsa Wiwaha adalah perkawinan dilakukan karena atas kebaikan keluarga
(Manawa Dharma Sastra, III.29)
  1. Prajapati Wiwaaha adalah Pemberian anak wanita setelah berpesan dengan mantra “Semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama” dan seteloah menunjukan penghormatan (kepada penganten pria)
(Manawa Dharma Sastra, III.30)
  1. Asura Wiwaha adalah Bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberi mas kawin menurut kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepadsa si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki.
(Manawa Dharma Sastra, III. 31)
  1. Gandharwa Wiwaha adalah Bentuk perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dengan pria.
(Manawa Dharma Sastra, III.32)
  1. Raksasa Wiwaha adalah Bentuk perkawinan dengan cara menculik gadis secara paksa.                                                                 
(Manawa Dharma Sastra, III. 33)
  1. PaisacaWiwaha adalah Bentuk perkawina dengan cara mencuri, memaksa atau dengan membuat bingung atau mabuk.
(Manawa Dharma Sastra, III.34)

d.      Sarana dan Tata cara Perkawinan
            Sarana upacara perkawinan dalam agama Hindu mengenal tiga tingkat yang terdiri dari : tingkat sederhana, tingkat menengah dan tingkat paling besar.
            Sarana upacara yang paling sederhana terdiri dari :
-          Air
-          Api/dupa
-          Bunga/daun
-          Buah
-          Saksi – saksi
-          Hari baik /dewasa
-          Pendeta/pinandita
Sarana tersebut diatas tidak dapat ditinggalkan dalam pelaksanaan upacara perkawinan Hindu. Sedangkan tingkatan sarana upacara perkawinan Hindu dalam bentuk menengah dan besar dapat disesuaikan dengan desa, kala, patra.
Adapun tata cara perkawinan Hindu menurut Drsta di Bali adalah sebagai berikut
v  Vivaha Samskara Menurut Drsta di Bali
Perkawinan Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu : kecil/nista, sedang/madya, besar/utama. Walau menjadi tiga tingkatan namun nilai spiritualnya sama.
a.      Tata Cara Upacara
-          Penyambutan kedua mempelai
Sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur – unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara.
-          Mabyakala
Mabyakala adalah upacara untuk membersihkan lahir bathin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi suputra.
-          Mapejati ataupesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan kehadapan Hyang Widhi, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikat diri sebagai suami istri yang sah.
b.      Sarana / Upakara
Jenis upacara yang digunakan pada upacara ini secara sederhana adalah :
-          Banten pemapag, segehan, dan tumpeng dadanan
-          Banten pesaksi, pras daksina, ajuman
-          Banten untuk mempelai, byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
1. Papegatan
            Berupa dua buah canang, dadap yang ditancapkan ditempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.
2. Tetimpug
            Beberapa pohon bambu kecil yang masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas atau tujuh ruas.
3. Sok Dagang
            Sebuah bakul berisi buah – buahan, rempah – rempah, keladi
4. Kala Sepetan
            Disimboliskan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang tridatu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dadap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pakala – kalaan.
5. Tegen - Tegenan
            Batang tebu atau carang dadap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
c.       Jalannya Upacara
1. Upacara penyambutan kedua mempelai
            Begitu calon mempelai masuk pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan
2. Upacara mabyakala
            Sebelum upacara ini dimulai dengan upacara puja astiti oleh pemimpin upakara. Pelaksanaannya kedua mempelai melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya banten pabyakalaan. Kemudian natab pabyakalaan. Masing – masing ibu jari kedua mempelai disentuhkan dengan telur ayam mentah didepan kaki sebanyak 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan penglukatan, lalu berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut Murwa Daksina. Saat berjalan mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dagangan, diiringi dengan mempelai pria dengan memikul tegen – tegenan. Setiap melewati kala sepetan kakinya yaitu ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul   lambang kala sepetan. Mempelai wanita saat berjalan dicemeti (dipukuli) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai simbul telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir kedua mempelai memutuskan benang papegatan sebagai tanda mereka kedua telah memasuki hidu Grhasta.
            3. Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara pesaksian kepada Hyang Widhi, maka kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali. Setelah mebakti kedua mempelai diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten Widhi Wadhana dan majaya – jaya.
            Dengan demikian maka selesailah pelaksanaan samskara vivaha. Selesai vivaha samskara adalah penandatanganan surat perkawinan oleh kedua belah pihak dihadapan saksi dan pejabat yang berwenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar